Kisah Ibnu Athoillah As-Sakandari saat mengarang kitab Al-Ḥikam al-‘Aṭā’illah adalah salah satu momen penting dalam sejarah tasawuf. Kitab ini menjadi karya monumental yang sangat terkenal di kalangan sufi dan pencari jalan spiritual hingga hari ini. Berikut adalah penjelasan tentang latar belakang dan kisah pengarangannya:
Siapa Ibnu Athoillah As-Sakandari?
Nama lengkap: Aḥmad ibn Muḥammad ibn ‘Abd al-Karīm ibn ‘Aṭā’illāh al-Iskandarī
Lahir: Abad ke-7 H / 13 M, di Alexandria (Iskandariyah), Mesir
Mazhab fiqih: Maliki
Thariqah: Syadziliyah (murid dari Syaikh Abu al-‘Abbas al-Mursi, yang merupakan murid langsung dari pendiri Thariqah Syadziliyah, Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili)
Ibnu Athoillah awalnya adalah seorang ulama fiqih dan logika, cenderung rasionalis dan skeptis terhadap ilmu tasawuf. Namun, kehidupannya berubah setelah pertemuan dengan Syaikh Abu al-‘Abbas al-Mursi, yang kemudian menjadi gurunya dalam thariqah.
Kisah Munculnya Kitab Al-Hikam
Setelah menekuni jalan spiritual Thariqah Syadziliyah, Ibnu Athoillah mengalami transformasi batin yang mendalam. Ia mengalami berbagai pengalaman ruhani, perenungan, dan limpahan ilham (waridat). Dalam kondisi seperti inilah kitab Al-Ḥikam lahir.
Kitab ini berisi aforisme (kata-kata hikmah)pendek namun sangat dalam maknanya, yang merupakan hasil dari kontemplasi spiritual, pengalaman dzikir, dan pemahaman batin atas perjalanan menuju Allah (suluk).
Kutipan terkenal dari awal Kitab Al-Hikam:
"Min ‘alamatil i’timād ‘ala al-‘amal, nuqṣānu raja’i ‘inda wujūdiz-zalal."
"Salah satu tanda mengandalkan amal (bukan Allah) adalah berkurangnya harapan ketika terjadi kesalahan (dosa).”
Ini menunjukkan kedalaman pemahaman Ibnu Athoillah tentang tauhid, ketergantungan kepada Allah, dan perjalanan ruhani manusia.
Tujuan dan Gaya Penulisan Al-Hikam
Bukan kitab fiqih, tapi kitab suluk (perjalanan spiritual).
Tulisannya berbentuk kalimat-kalimat pendek dan padat, seperti mutiara hikmah.
Ditujukan untuk membersihkan hati, menuntun murid (salik) dalam perjalanan kepada Allah.
Bahasanya indah dan dalam, sering memuat simbol-simbol batin dan maqam-maqam spiritual.
Ibnu Athoillah sendiri tidak menyusun kitab ini dengan sistematika akademik seperti kitab fiqih. Hikmah-hikmah tersebut ditulis berdasarkan ilham hati yang datang, lalu dikumpulkan menjadi satu kitab.
Dampak dan Warisan Kitab Al-Hikam
Menjadi rujukan utama dalam dunia tasawuf Sunni.
Diberi syarah (penjelasan) oleh banyak ulama besar seperti: Ibnu ‘Ajibah,Ahmad Zarruq, Syekh Nawawi al-Bantani
(ulama Nusantara)
Dibaca dan diajarkan di pesantren-pesantren hingga hari ini, termasuk di Indonesia.
Menjadi pegangan orang-orang yang ingin menyucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, tanpa meninggalkan
syariat.
Penutup
Kitab Al-Hikam bukan hanya karya ilmiah, tetapi buah dari pengalaman ruhani seorang sufi besar yang telah melewati perjalanan panjang dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kisah Ibnu Athoillah mengajarkan bahwa ilmu batin dan lahir harus berjalan beriringan. Sebelum mengarang Al-Hikam, beliau belajar, berguru, bersuluk, dan akhirnya menuangkan segala pengalamannya dalam untaian hikmah yang menyejukkan hati para pencari kebenaran.
By : Al Khamidy
